Pilihan yang sulit
Seseorang yang sudah terbilang sukses dalam masalah ekonominya kerap kali bingung ketika memutuskan untuk memilih antara menikah atau haji terlebih dahulu? Padahal hartanya tidak cukup untuk memenuhi keduanya dan dia kudu memilih salah satunya.
Terlepas dari itu semua, bagi orang islam, menunaikan ibadah haji merupakan ibadah idaman, pasalnya, tidak semua muslim bisa menjalankan rukun islam yang terakhir itu.
Akhir-akhir ini pun, menikah menjadi tameng pribadi di tengah derasnya kemerosotan moral dan rumor sosial yang mencemari kehidupan muda-mudi.
Lantas, ketika perihal demikian dihadapkan bagi orang yang sudah “mampu” maka mana yang kudu terlebih dulu dilakukan? Haji dulu atau nikah dulu?
Baca juga: Menatap Masa Depan dengan Kecerdasan
Dalam kitab Kifayah al-Akhyar kudu mempertimbangkan pribadi orang itu, dalam artian, apakah dia cemas terjerumus dalam zina atau tidak?
وَلَوْ قَدَرَ عَلَى مُؤَنِ الْحَجِّ لَكِنَّهُ مُحْتَاجٌ إِلَى النِّكَاحِ لِخَوْفِ الْعَنَتِ، وَهُوَ الزِّنَا، فَصَرْفُهُ إِلَى النِّكَاحِ أَهَمُّ مِنْ صَرْفِهِ إِلَى الْحَجِّ، لِأَنَّ حَاجَةَ النِّكَاحِ نَاجِزَةٌ، وَالْحَجُّ عَلَى التَّرَاخِي، وَإِنْ لَمْ يَخَفِ الْعَنَتَ، فَتَقْدِيمُ الْحَجِّ أَفْضَلُ، وَإِلَّا فَالنِّكَاحُ أَفْضَلُ.
“Apabila seseorang bisa membiayai ibadah haji, namun dia juga memerlukan pernikahan lantaran cemas terjerumus dalam al-‘anat, ialah zina, maka membelanjakan hartanya untuk menikah lebih utama daripada menggunakannya untuk haji.
Sebab, kebutuhan bakal pernikahan berkarakter mendesak (langsung), sedangkan tanggungjawab haji boleh tertunda (tidak kudu segera dilakukan).
Namun, jika dia tidak cemas terjerumus dalam zina, maka mendahulukan haji lebih utama. Sebaliknya, jika cemas (terjerumus zina), maka pernikahan lebih utama.” [Baca: Syaikh Abu Bakr bin Muhammad al-Hishni, Kifayah al-Akhyar, (Damaskus: Dar al-Khir) hal. 212.]
Syaikh Ibnu Qasim al-‘Ubadi menjelaskan dalam kitabnya bahwa orang tersebut kudu mendahulukan menikah, namun tanggungjawab haji tetap menjadi tanggungannya.
لَكِنْ يَسْتَقِرُّ الْحَجُّ فِي ذِمَّتِهِ أَخْذًا مِمَّا قَالُوهُ فِيمَنْ لَيْسَ مَعَهُ إِلَّا مَا يَصْرِفُهُ لِلْحَجِّ أَوِ النِّكَاحِ، وَاحْتَاجَ إِلَيْهِ، أَنَّهُ يُقَدِّمُهُ وَيَسْتَقِرُّ الْحَجُّ فِي ذِمَّتِهِ.
“Namun, tanggungjawab haji tetap menetap dalam tanggungannya (dzimmah), berdasarkan apa yang telah oleh para ustadz katakan tentang seseorang yang tidak mempunyai selain kekayaan yang bisa dia gunakan untuk haji atau untuk menikah, dan dia membutuhkannya, bahwa dia boleh mendahulukan pernikahan, tetapi tanggungjawab haji tetap melekat dalam tanggungannya” [Baca Hasyiyah Ibnu Qasim al-‘Ubadi, (Beirut: Dar Ihya Turats) hal. 18 vol. 4]
Namun, di sisi lain Sahabat Ibnu ‘Abbas pernah berkata:
لَا يَتِمُّ نُسُكُ النَّاسِكِ حَتَّى يَتَزَوَّجَ.
“Tidak sempurna ibadahnya orang yang berhaji sehingga dia menikah”
Dalam kitab Ihya Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa:
“Secara realitas, memang ungkapan Ibnu Abbas ini menegaskan bahwasanya orang yang belum mempunyai pendamping susah untuk menjaga hatinya ketika berhaji, lantaran syahwatnya tetap terdominasi, dan satu-satunya langkah adalah dengan menikah.
Oleh lantaran itu, tidaklah sempurna ibadah haji seseorang selain dalam keadaan hati yang kosong (tidak terdominasi oleh syahwat), dan hati yang kosong bisa diperoleh dengan menikah.” [Baca: Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Ma’rifat) Hal. 23 vol. 2]
Dalam kesempatan lain, Sahabat Ibnu Mas’ud pun mengungkapkan:
لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنْ عُمُرِي إِلَّا عَشَرَةُ أَيَّامٍ، لَأَحْبَبْتُ أَنْ أَتَزَوَّجَ لِكَيْلَا أَلْقَى اللهَ عَزَبًا.
“Seandainya tidak tersisa dari umurku selain sepuluh hari saja, sungguh saya mau menikah agar tidak menghadap Allah dalam keadaan lajang.” [Baca: Al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din (Beirut: Dar al-Ma’rifat) Hal. 23 vol. 2]
Dari penjelasan demikian, kita bisa mengambil benang merah bahwa orang yang mempunyai pasangan itu ada sisi keistimewaan di sisi Allah, lantaran setiap birahi yang muncul dari orang nan sudah mempunyai pasangan itu mempunyai tempat untuk melampiaskannya.
Baca juga: Salah Paham Tentang Tawasul dan Macam-Macam Lafadz Tawasul
Apakah kekayaan untuk menikah menghalangi tanggungjawab haji?
Lantas, apakah kekayaan yang bakal digunakan untuk menikah bisa menghalangi tanggungjawab haji?
Ibnu Qasim al-‘Ubadi dalam kitabnya menjelaskan:
وَهَذَا بِخِلَافِ الْحَاجَةِ إِلَى النِّكَاحِ، فَإِنَّهُمْ لَمْ يَجْعَلُوهَا مَانِعَةً مِنَ الْوُجُوبِ كَمَا سَيَأْتِي، وَلَعَلَّ الْفَرْقَ مَا أَشَارُوا إِلَيْهِ بِتَعْلِيلِ عَدَمِ كَوْنِهَا مَانِعَةً مِنَ الْوُجُوبِ بِأَنَّهَا مِنَ الْمَلَاذِّ. لِأَنَّهُ ضَرُورِيٌّ فَيَمْنَعُ الْوُجُوبَ.
“Hal ini berbeda dengan kebutuhan terhadap pernikahan, lantaran para ustadz tidak menjadikannya sebagai penghalang bagi tanggungjawab (haji). Mungkin perbedaannya sebagaimana telah mereka isyaratkan, ialah bahwa pernikahan tidak dianggap sebagai penghalang haji lantaran termasuk kebutuhan yang berkarakter kenikmatan (bukan kebutuhan pokok). Karena yang tergolong kebutuhan pokoklah yang dapat menghalangi tanggungjawab (haji).” [Baca Hasyiyah Ibnu Qasim al-‘Ubadi, (Beirut: Dar Ihya Turats) hal. 18 vol. 4]
Baca juga: Polemik Metode Penetepan Awal Bulan Hijriyyah
- Mendahulukan antara menikah dan haji adalah tergantung orangnya, jika dia cemas terjerumus dalam zina maka mendahulukan menikah, jika tidak, maka mendahulukan haji.
- Jika dia memilih mendahulukan menikah, maka tanggungjawab menjalankan ibadah haji tetap menjadi tanggungannya.
- Maksud kalimat ucapan Ibnu Abbas yang berupa “tidak sempurna ibadah hajinya seseorang hingga dia menikah” adalah ada kelebihan tersendiri bagi orang yang sudah menikah dalam perihal menahan dan melampiaskan syahwatnya.
- Adapun kekayaan yang digunakan untuk menikah—menurut kebanyakan ulama—tidak bisa menghalangi tanggungjawab haji.
Wallahu a’lam.
Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo
English (US) ·
Indonesian (ID) ·