Jalan Sunyi Para Jomblo: Perspektif Imam Ghazali

Sedang Trending 7 bulan yang lalu

Bulan Syawal menjadi momen banyak orang selebrasi cinta melalui pernikahan. Pertanyaan “kapan nikah?” pada jomblo pun mengerubuti bak laron di musim hujan. Memang, kampanye nikah dalam narasi Islam sangat kuat sebagai sunnah Nabi dan ibadah seumur hidup. Barang siapa melaksanakannya, maka dianggap menyempurnakan separuh agama. Padahal kita tahu, jalan hidup dan proses setiap perseorangan berbeda-beda, tidak bisa diukur hanya dengan usia.

Dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali secara unik menulis satu bab tentang rekomendasi untuk tidak menikah (at-tarhib ‘an an-nikah). Bab ini untuk mengimbangi narasi rekomendasi menikah nan sangat santer, meskipun akhir-akhir ini sudah diimbangi oleh kondisi ekonomi nasional nan makin loyo. Anjuran tidak menikah menjadi argumen bagi mereka nan dalam hatinya belum siap untuk melangkah ke biduk rumah tangga tapi selalu merasa terdesak oleh tekanan sosial.

Mereka merasa bahwa ketakutan bakal masa depan dalam diri mereka tidak dianggap sah lantaran kepercayaan bicara soal agunan rezeki. Akhirnya, banyak juga rumah tangga nan ambyar lantaran aspek ekonomi selaras dengan tren perceraian nan kian naik. Atas asas menunaikan kebaikan saleh, para muda-mudi menikah tanpa betul-betul memahami makna dari siap.

Sebuah sabda menyebutkan:

خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ المِائَتَيْنِ الْخَفِيفُ الْحَاذُّ الَّذِيْ لَا أَهْلَ لَهُ وَلَا وَلَدَ

“Sebaik-baik manusia setelah tahun dua ratus adalah nan bebannya ringan, nan terputus (tidak mempunyai keluarga), dan tidak pula mempunyai anak.” (HR. Abu Ya’la dan al-Khitabi)

Selanjutnya, disebutkan dalam sebuah riwayat:

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ، يَكُوْنُ هَلَاكُ الرَّجُلِ عَلَى يَدِ زَوْجَتِهِ وَأَبَوَيْهِ وَوَلَدِهِ، يُعَيِّرُونَهُ بِالْفَقْرِ، وَيُكَلِّفُوْنَهُ مَا لَا يُطِيْقُ، فَيَدْخُلُ الْمَدَاخِلَ الَّتِي يَذْهَبُ فِيهَا دِينُهُ، فَيَهْلِكُ

“Akan datang suatu masa pada manusia, di mana kebinasaan seorang laki-laki datang dari tangan istri, kedua orang tua, dan anaknya. Mereka mencelanya lantaran miskin, dan membebaninya dengan sesuatu nan tidak sanggup dia pikul. Maka dia pun memasuki jalan-jalan nan menghilangkan agamanya, lampau binasalah ia.” (HR. al-Baihaqi)

Ini bisa menjadi kritik nan tajam nan menunjukkan ironi bumi pernikahan. Seorang laki-laki tidak hanya dibebani tanggungan nafkah, tetapi juga style hidup keluarganya.

Dalam sebuah khabar disebutkan bahwa:

قِلَّةُ الْعِيَالِ أَحَدُ الْيَسَارَيْنِ، وَكَثْرَتُهُمْ أَحَدُ الْفَقْرَيْنِ

“Sedikit family adalah salah satu dari dua corak kelapangan, dan banyaknya family adalah salah satu dari dua corak kefakiran.” (HR. al-Qudla’i dan ad-Dailami)

Maka, sedikit tanggungan bisa membikin hidup terasa lapang meski kekayaan pas-pasan. Sebaliknya, banyaknya anak dan tuntutan family bisa menciptakan kefakiran, meski pemasukan tak sedikit.

Abu Sulaiman ad-Darani pernah ditanya tentang pernikahan, lampau dia menjawab, “Besabar tidak menikah lebih baik daripada bersabar dalam pernikahan. Dan bersabar dalam pernikahan lebih baik dari menahan diri dari api neraka.” Ia juga pernah berkata, “Orang nan membujang bakal mendapatkan manisnya ibadah juga ketenangan hati nan tidak didapati oleh orang nan beristri.”

Masih dari ad-Darani, dia sekali waktu berkata, “Aku tidak memandang satu pun teman-teman kami nan menikah dan tetap berada di derajat pertama.”  Ia juga berkata, “Tiga perkara nan peralatan siapa mencarinya, maka sungguh dia telah condong kepada dunia: orang nan mencari penghidupan, menikahi seorang wanita, alias menulis hadis.”

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia tidak bakal menyibukkannya dengan family alias harta.”

Ibnu Abi al-Hawari mengelaborasi bahwa sekelompok orang berbincang mengenai sabda ini, lampau mereka sepakat bahwa maksudnya bukanlah agar seseorang tidak mempunyai family dan harta, tetapi agar dia memilikinya tanpa menjadikannya sibuk (terlena) darinya. Ini sejalan dengan ucapan Abu Sulaiman ad-Darani, “Apa pun nan menyibukkanmu dari Allah, baik itu keluarga, harta, alias anak, maka itu adalah kesialan atasmu.”

Imam Ghazali menyebut bahwa secara umum tidak ada nan meriwayatkan larangan menikah secara mutlak, selain disertai dengan syarat tertentu. Adapun rekomendasi menikah, disampaikan dalam corak absolut namun juga disertai syarat.

Dengan memahami argumen anti-mainstream ini, diharapkan setiap orang nan tidak siap menikah tidak perlu takut untuk membikin keputusan. Begitu pula, kita sebagai bagian dari sosial tidak terpancing mendesak seseorang untuk menikah. Meskipun sabda menyebut bahwa menikah adalah sunnah rasul, namun dalam fikih norma menikah ada lima sesuai dengan kondisi masing-masing.

Setiap orang mempunyai kewenangan menentukan jalan hidup. Mungkin ada nan mau konsentrasi pekerjaan dulu, ada nan belum menemukan pasangan nan tepat, ada nan tetap menabung, ada nan punya trauma keluarga, dan alasan-alasan lain nan enggan mereka ungkap. Dalil-dalil nan disajikan Imam Ghazali tadi menegaskan bahwa meniti jalan jomblo juga bisa punya lisensi agamis jika dilakukan dengan niat dan pertimbangan nan benar.

Katalog Buku Alif.ID

Selengkapnya
Sumber Tasawuf
Tasawuf