Menelepon Gusti Allah: Begini Cara Allah Berbicara Kepada Makhluknya

Sedang Trending 1 tahun yang lalu

Masyarakat Indonesia sempat digegerkan dengan pernyataan Raden Ibnu Hajar Shaleh atau berkawan di panggil Mbah Benu, ketua jamaah Aolia Gunung Kidul, Yogyakarta saat menetapkan hari raya Idul Fitri 1445 H. Mbah Benu mengaku bahwa dalam menentukan tibanya 1 syawal tidak menggunakan metode rukyat maupun hisab seperti kebanyakan umat islam lainnya, melainkan dengan langkah menelepon Allah SWT.

Sontak perihal tersebut mengundang rasa resah bagi umat muslim lainnya nan berujung pada penjelasan dari Mbah Benu dan akhirnya dia berbareng jamaahnya mendapatkan pengarahan dari beberapa lembaga islam seperti NU dan MUI. Berdasarkan hasil klarifikasi, Mbah Benu menuturkan bahwasanya perihal itu adalah bahasa kiasan untuk menyatakan perjalanan rohaninya.

Terlepas dari perihal tersebut, apakah memang Allah SWT bisa berkomunikasi dengan manusia?. Dan mungkinkah Allah SWT dapat berkomunikasi dengan makhluk selain utusannya seperti Nabi dan Rasul?. Pertanyaan tersebut sebenarnya dapat di jawab dengan firman Allah dalam Surah As-Syura ayat 51 nan bersuara :

Dan tidaklah terjadi bagi manusia untuk diajak diajak berbincang oleh Allah selain dengan wahyu alias dibelakang tabir alias dengan mengutus utusan lampau mewahyukan kepadanya dengan seizinnya apa nan dia kehendaki. Sesungguhnya dia maha tinggi lagi maha bijak (QS As-Syura 51)

Menurut Prof. Quraish Shihab dalam kitab tafsir karya beliau Al-Misbah beliau memaparkan bahwa ada tiga langkah Allah untuk “berbicara” dengan makhluk-Nya nan secara garis besar terdapat tiga langkah ialah langsung tanpa perantara. Sedangkan nan kedua berupa kondisi ialah dibelakang tabir alias hijab dan nan ketiga berupa kehadiran seorang utusan nan menyampaikan wahyu tersebut.

Cara nan pertama adalah melalui wahyu nan berfaedah pemberian info tanpa perantara dan dengan langkah nan tersembunyi kedalam kalbu nya tanpa perantara siapapun. Dan Allah juga menganugerahkan kepada nan menerima Wahyu tersebut keahlian mendengar dan memahami nan sangat tinggi.

Beliau juga menukil pendapat dari seorang Sufi besar Syihabuddin As-Syuhrawardi nan menyatakan bahwa pengetahuan nan berkarakter laduny nan terdapat pada kalbu orang nan mengkonsentrasikan dirinya kepada Allah adalah bagian dari mukalamah alias “pembicaraan” tersebut. Namun, perlu digaris bawahi bahwa para sufi tidak menggunakan hikmah tersebut untuk menetapkan norma fiqih, melainkan untuk kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.

Cara kedua ialah dibalik hijab, nan berfaedah diluar sesuatu, ini lantaran Allah tidak memerlukan tempat, sehingga tidak ada bagi-Nya ruang atas, bawah, maupun belakang. Juga lantaran maha tingginya maka percakapan-Nya tidaklah sama dengan percakapan makhluk-Nya, dan dia juga maha bijak sehingga dia memilih nan terbaik untuk diajak berbincang serta info nan disampaikan-Nya adalah nan sangat sesuai dengan kemaslahatan.

Cara ketiga adalah langkah nan paling sering diterima oleh para nabi dan rasul, Nabi Muhammad SAW menggambarkan pengalaman beliau bahwa wahyu nan disampaikan oleh malaikat itu terkadang disertai dengan bunyi ibaratkan bunyi lonceng. Terkadang wahyu tersebut datang disertai bunyi ibaratkan bunyi lebah, dan tak jarang juga malaikat menjelma sebagai manusia, baik dikenal maupun tidak.

Kesimpulan dari makna berbicara disini adalah dipahamkanya apa nan hendak disampaikan Allah kepada objek nan dipilihnya. Dalam perihal ini tidak boleh menggunakan pemahaman tekstual nan pada nantinya bakal menghasilkan pemahaman bahwa percakapan alias pembicaraan tersebut sama dengan percakapan makhluk pada umumnya. Karena tidak ada sesuatu nan serupa dengan-Nya (Allah).

Demikianlah pengertian dan gimana langkah Allah ‘berbicara kepada makhluk-Nya nan terdapat dalam Al-Quran surah As-Syura ayat 51 menurut Prof Quraish Shihab dalam kitab tafsir karyanya Al-Misbah. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi pembaca nan berbudi semua.

Katalog Buku Alif.ID

Selengkapnya
Sumber Tasawuf
Tasawuf