“Dan janganlah Anda seperti seorang wanita nan mengurai tenunannya nan sudah (dipintal dengan) kuat sehingga pisah berai” (Q.S.16.92).
Pasca Ramadan ini sangat menarik untuk membaca ayat di atas. Bahwa puasa Ramadan dapat diibaratkan sebagai menenun hingga menjadi tenunan nan kuat. Kita semuanya sudah punya tenunan nan kita pakai setiap hari. Selama sebulan kita menenun, tentu saja ini adalah bahasa metafora dari Qur’an, kita sudah sukses mengisi bulan ramadan dengan beragam kebaikan ibadah sesuai dengan petunjuk agama.
Dalam bahasa sabda kita berpuasa dengan kepercayaan nan penuh dan ihtisaban, dengan banyak melakukan koreksi diri alias introspeksi diri, banyak memandang diri kita ke dalam. Itulah adalah salah satu tenunan Ramadan, nan sifatnya lebih banyak menyentuh bagian dalam dari sisi kemanusiaan.
Di samping itu hal-hal dari tenunan nan sifatnya keluar dari sisi manusia untuk tidak menvibrasikan ucapan-ucapan nan tidak berfaedah dan dapat menyinggung hubungan sosial kemanusiaan. Boleh jadi kita dapat mengurai tenunan nan telah kita buat secara kuat, menjadi pisah berai, lantaran banyaknya godaan-godaan, baik secara internal maupun eksternal.
Dengan begitu kita bakal mengalami kebangkrutan sebagaimana nan pernah disampaikan oleh Nabi kepada para sahabatnya.
Nabi pernah bertanya kepada para sahabatnya, tahukah Anda orang nan bangkrut? Kata para sahabat menurut kami, adalah mereka nan tidak punya lagi kekayaan kekayaan, uang, dan barang-barang berbobot lainnya, kemudian Nabi berfirman sesungguhnya orang ambruk dari umatku adalah orang nan datang pada hari hariakhir dengan membawa pahala shalat, pahala puasa, pahala amal dan pahala-pahala lainnya, tapi dia tertahan di pintu surga lantaran banyak orang datang mengadu kepada Tuhan bahwa orang ini punya banyak problem kemanusiaan ketika hidup di dunia. Satu persatu orang datang mengadu kepada Tuhan, dengan beragam dosa sosial nan dilakukan orang tersebut.
Sehingga seluruh amunisi pahala nan dia miliki dibagi lenyap kepada orang-orang datang mengadu, tetapi orang nan mengadu tetap ada nan datang sementara dia sudah kehabisan pundi-pundi amalnya.
Amal-amal kejelekan orang nan tetap datang mengadu diberikan kepada orang itu, dan pada akhirnya dia dilemparkan ke neraka. Itulah kebangkrutan nan sebenarnya nan dimaksud oleh Nabi. Orang nan dahsyat secara kasat mata sewaktu di dunia, tetapi ada problem sosial nan dia tidak sadari. Bahwa beragama kepada Tuhan bukan dilihat secara ritual saja, tapi ada pesan moral nan kudu ada dibalik ibadah ritual tersebut.
Inilah nan dimaksud dengan istilah nan digunakan oleh KH Mustofa Bisri dalam salah satu titel bukunya ialah “Saleh Ritual, Saleh Sosial’, bahwa sungguh tidak menguntungkan bagi kehidupan berakidah di kalangan kaum Muslim, ialah ungkapan tentang adanya kesalehan ritual di satu pihak dan kesalehan sosial di pihak nan lain.
Padahal kesalahan dalam Islam hanya satu, Yaitu kesalehan muttaqi (hamba nan bertaqwa) alias dengan istilah lain, mukmin nan beramal saleh. Kesalehan nan mencakup sekaligus ritual dan sosial. Di sini Kiai Mustofa Bisri lebih menekankan kualitas iman, kualitas ibadah, dan kualitas adab sosial secara seimbang.
Begitu pun nan diceritakan oleh Nabi tentang calon penunggu surga nan disampaikan kepada sahabatnya sewaktu berbincang dalam mesjid, dan menyampaikan kepada para sahabatnya bahwa bakal masuk sejenak ini “seorang calon penunggu surga” perkataan Nabi diucapkan selama tiga hari dihadapan para sahabatnya, secara ritual orang nan disebut Nabi calon penunggu surga itu, sangat bagus ibadah ritualnya lantaran beragama di mesjid.
Tetapi bukan itu nan ditonjolkan oleh Nabi, tetapi orang ini setelah diteliti oleh salah seorang sahabat Nabi, rupanya dia tidak punya penyakit hati kepada para sahabatnya alias tidak punya dosa sosial kemanusiaan terhadap orang lain. Itulah nan diakui oleh para sahabat, lantaran secara ritual, ibadah para sahabat mungkin lebih di atas ibadah ritualnya. Tetapi lantaran orang tersebut punya keistimewaan nan sangat luar biasa nan diakui oleh para sahabat. Sehingga para sahabat mengucapkan “Hadzihi llatih qad balagta bika wa hiyallati la utiku“, inilah keistimewaan nan engkau miliki, dan itulah nan tidak bisa saya lakukan.
Ini sangat sejalan dengan firman Tuhan di atas tentang seorang wanita nan mengurai kembali tenunannya nan sudah ditenun dengan kuat, suatu perbuatan nan sangat merugikan, lantaran pahala kebaikan nan kerjakan selama ini, dikotori kembali dengan perbuatan-perbuatan nan bisa mengikis lenyap nilai-nilai amaliahnya, seperti dalam bahasa sabda di atas tentang orang-orang ambruk di alambaka kelak.

1 tahun yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·