“Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk-duduk berbareng Rasulullah Saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki berpakaian sangat putih dan berbulu sangat hitam, tanpa ada tanda-tanda perjalanan pada dirinya, dan tidak seorang pun di antara kami nan mengenalnya. Ia langsung duduk di hadapan Nabi, mendekatkan lututnya kepada dengkul beliau, dan meletakkan kedua tangannya di atas paha Nabi. Ia pun berkata, “Wahai Nabi, beritahukan kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah Saw bersabda, “Islam adalah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah jika engkau bisa melakukannya.”
Orang itu berkata, “Dikau benar.”
Kami merasa heran, dia bertanya namun dia juga membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Iman.”
Beliau pun bersabda, “Iman adalah engkau percaya kepada Allah, malaikat-Nya, semua kitab suci-Nya, para rasul-Nya, Hari Akhir, dan engkau meyakini takdir nan baik maupun nan buruk.”
Orang itu berkata, “Dikau benar.” Lalu dia bertanya lagi, “Beritahukan kepadaku tentang Ihsan.”
Beliau bersabda, “Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya. Jika engkau tidak bisa melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Penggalan teks “Hadits Jibril” nan diriwayatkan oleh Umar bin Khattab ra di atas, tercantum dalam kitab Shahih Muslim (Hadits No. 8). Kami sengaja menukilnya sampai pada bagian tersebut, lantaran memang hanya mau mengupas salah satu bagian dari Trilogi Islam itu—yang entah kenapa belum terumuskan secara memadai hingga risalah ini ditulis. Padahal posisinya jelas sebagai sokoguru bagi siapa saja nan mau menjadi Muslim dalam keadaan penuh menyeluruh.
Mari kita mulai, kisanak!
Syeikh l-Akbar Ibn ‘Arabi, seorang sufi besar dan filsuf Muslim terkemuka, mempunyai pandangan nan mendalam tentang Ihsan. Dalam sejumlah karyanya seperti Fusus al-Hikam (Inti dari Hikmah), Ibn ‘Arabi menggali dimensi spiritual nan lebih luas, menghubungkan Ihsan dengan pemahaman tentang Tuhan nan tak terbatas dan pandangan mistik mengenai kesatuan dengan Sang Pencipta. Bagi Ibn ‘Arabi, Ihsan merupakan suatu kondisi jiwa di mana seorang perseorangan tidak hanya tunduk secara umum kepada Allah, tetapi juga mengalami pengenalan langsung bakal tuhan. Dalam perspektif pandangnya, Ihsan merujuk pada sebuah keadaan kedekatan spiritual nan sangat tinggi, nan membawa seorang hamba kepada pemahaman tentang realitas tak tepermanai.
Sejatinya, mendefinisikan Rukun Ihsan bisa membuka wawasan baru dalam memahami dimensi spiritualitas dalam Islam. Jika Rukun Islam berfokus pada praktik lahiriah, dan Rukun Iman menguatkan kepercayaan batiniah, maka Rukun Ihsan menjadi jalan kesadaran nan menyempurnakan keduanya—membawa manusia pada keintiman dengan Allah. Dalam aliran Islam, Ihsan bukan hanya sekadar tingkatan amal, namun puncak perjalanan spiritual seorang Muslim. Ihsan merupakan manifestasi dari kesempurnaan Iman dan kebaikan nan diiringi kesadaran mendalam bakal keberadaan Allah. Rukun Ihsan mengandung dimensi nan tidak hanya berasosiasi dengan ibadah formal, melainkan langkah seseorang menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh kesadaran dan ketaatan.
Berikut ini kami sajikan lima rukun nan merangkum dimensi Ihsan, nan dapat menjadi pedoman dalam memperkuat spiritualitas seorang Muslim:
Muraqabah (Kesadaran bakal Kehadiran Allah)
Muraqabah berasal dari kata raqabah nan berfaedah “mengawasi” alias “memperhatikan.” Dalam konteks spiritual, muraqabah berfaedah mempunyai kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa mengawasi segala perbuatan, pikiran, dan niat kita. Ini adalah corak penghayatan bahwa Allah Mahamelihat, Mahamendengar, dan Mahamengetahui segala sesuatu nan ada di langit, bumi, dan di luar keduanya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:
“Dan Dia bersamamu di mana saja Anda berada.” (QS. Al-Hadid [57]: 4)
Kesadaran bakal kehadiran Allah ini kudu menuntun seorang Muslim menjalani kehidupan dengan lebih hati-hati dan bertanggungjawab. Dalam praktiknya, muraqabah mendorong seseorang untuk selalu waspada, menjaga diri dari perbuatan nista, dan berupaya selalu melakukan kebaikan, lantaran dia percaya bahwa setiap perbuatannya senantiasa dalam pengawasan Allah. Muraqabah juga mengajarkan kita untuk tidak hanya mengingat Allah saat beribadah, tetapi juga dalam setiap detik kehidupan. Dengan menjaga kesadaran ini, seseorang bakal lebih mawas dan terhindar dari perbuatan tercela, serta berupaya menjaga kualitas amalnya.
Muhasabah (Introspeksi Diri)
Muhasabah adalah proses pertimbangan diri nan dilakukan secara sadar untuk menilai niat dan kebaikan perbuatan nan telah dilakukan. Sebelum dihisab oleh Allah di Akhirat, seseorang disarankan untuk melakukan muhasabah secara rutin, sebagai langkah mensucikan diri dan mempersiapkan hati untuk menerima perbaikan dan peningkatan spiritual. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Hendaklah setiap diri memperhatikan apa nan telah diperbuatnya untuk hari esok.” (QS. Al-Hasyr [59]: 18)
Muhasabah memberi kita kesempatan untuk memandang kembali setiap tindakan nan telah dilakukan, baik nan tampak di luar maupun nan tersembunyi dalam pikiran dan hati. Dengan introspeksi ini, seseorang bisa mengevaluasi apakah niatnya tulus lantaran Allah alias sekadar untuk kepentingan duniawi semata. Ini adalah proses nan membantu kita mengoreksi kesalahan, serta memperbaiki diri agar dapat mencapai kesempurnaan beribadah. Praktik muhasabah membujuk kita untuk senantiasa introspeksi, merendahkan hati, dan meningkatkan kualitas diri dalam setiap aspek kehidupan. Dengan muhasabah, seorang Muslim bisa belajar menata hidup lebih baik, ikhlas, dan berfaedah bagi dirinya dan orang lain.
Ikhlas (Memurnikan Niat)
Ikhlas mengajarkan kita memurnikan segala kebaikan hanya untuk Allah sahaja. Amal nan dilakukan dengan niat nan benar, hanya untuk meraih keridhaan-Nya, bakal mendapatkan nilai nan tinggi di sisi Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Padahal mereka tidak disuruh selain agar menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)
Ikhlas membebaskan hati dari segala corak riya’ (pamer) dan sum’ah (ingin didengar orang). Ini adalah prinsip nan krusial dalam kehidupan seorang Muslim, lantaran hanya kebaikan nan dilakukan dengan tulus nan bakal diterima Allah. Ikhlas juga berfaedah bahwa segala tindakan dalam kehidupan ini, kudu dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih, dan hanya berambisi ridha-Nya. Proses untuk mencapai tulus ini tidak mudah, lantaran manusia seringkali terbawa oleh kemauan mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang lain. Namun, dengan terus berupaya memurnikan niat dalam setiap amal, seorang Muslim dapat meningkatkan kualitas ibadahnya, dan menjadikannya lebih bernilai, baik di bumi maupun di Akhirat.
Tawakkul (Berserah Diri)
Tawakkul alias nan lazim kita kenal dengan julukan tawakal, adalah sikap totalitas dalam bertawakal diri kepada Allah, setelah berupaya sekuat tenaga. Usai melakukan segala upaya dan ikhtiar, seorang Muslim kudu menyerahkan hasilnya kepada Allah, serta percaya bahwa segala keputusan berada di bawah duli-Nya. Sebagaimana Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Cukuplah Allah menjadi pelindung.” (QS. An-Nisa [4]: 81)
Tawakal tidak berfaedah pasrah tanpa usaha, tetapi justru menunjukkan bahwa kita sudah berupaya sebaik mungkin, dan meyakini bahwa segala sesuatu nan terjadi adalah takdir terbaik dari Allah. Ini adalah sikap nan mengajarkan ketenangan dalam menghadapi kehidupan, bahwa segala sesuatu berada dalam kendali Allah, dan kita tidak perlu takut alias cemas terhadap hasil nan mungkin terjadi. Tawakal membujuk kita untuk mempunyai keteguhan hati dan keyakinan, bahwa setiap langkah nan kita ambil bakal memberikan hasil nan baik, sesuai kehendak Allah. Dengan tawakal, seorang Muslim bakal bisa menjalani hidup dengan penuh keyakinan, mengatasi kesulitan dengan sabar, dan selalu mengharapkan nan terbaik dari Allah.
Mahabbah (Cinta kepada Allah)
Mahabbah alias cinta kepada Allah, mendorong seorang Muslim untuk senantiasa merasakan dekat dengan-Nya, mencintai-Nya lebih dari segala sesuatu nan ada di bumi ini. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan orang-orang nan beragama banget sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 165)
Cinta kepada Allah bukan hanya tentang mengungkapkan kata-kata, tetapi juga gimana kita menjalani hidup sehari-hari. Cinta ini membikin kita merindukan pertemuan dengan-Nya, mematuhi setiap perintah-Nya, dan berupaya selalu berada dalam kebaikan dan ketaatan kepada-Nya. Ini juga memotivasi seorang Muslim untuk menjaga hubungan baik dengan sesama, lantaran kita tahu bahwa mencintai Allah, berfaedah juga mencintai makhluk-Nya. Mahabbah kepada Allah adalah cinta nan murni dan mendalam. Tidak tergoyahkan oleh apa pun. Cinta ini bakal membawa seseorang untuk hidup dalam ketulusan, kebaikan, dan kesetiaan kepada Allah pada setiap tindakan.
Sejatinya, Rukun Ihsan mencakup dimensi spiritual nan sangat dalam dan mengarah menuju kesempurnaan beragama dan kehidupan sehari-hari. Muraqabah, muhasabah, ikhlas, tawakkul, dan mahabbah, adalah lima pilar nan membimbing seorang Muslim untuk mencapai kesempurnaan dalam hubungan dengan Allah, serta menjalani hidup dengan penuh kesadaran dan kebaikan. Melalui pengamalan kelima rukun ini, seorang Muslim tidak hanya dapat memperbaiki dirinya, tetapi juga menjadi pribadi nan lebih baik, nan membawa faedah bagi diri sendiri dan masyarakat di sekitarnya.
Ihsan sebagai Kesadaran Universal
Merumuskan Rukun Ihsan sebagai jalan kesadaran spiritual membawa Islam ke dalam cakupan universal nan juga diyakini oleh tradisi tua nan lain. Ihsan adalah perjalanan menuju penyempurnaan diri, bukan hanya aspek lahiriah, melainkan pada tataran batiniah dan transendental. Dengan muraqabah, muhasabah, ikhlas, tawakkul, dan mahabbah, Ihsan mengajarkan manusia untuk menyembah Allah dengan kesadaran penuh bakal Kehadiran-Nya. Dalam konteks nan lebih luas, Ihsan juga menghubungkan manusia dengan Kebenaran Universal, sebagaimana juga ditekankan dalam Filsafat Perennial dan Vedanta.
Ihsan bukan hanya kesadaran tertinggi dalam Islam, tetapi jembatan menuju kesatuan spiritual nan melampaui batas-batas agama. Melalui Ihsan, manusia menyaksikan bahwa seluruh alam semesta hanyalah pantulan Wujud Tunggal: Allah, Sang Maha Pencipta. Kalangan perennialis, seperti Frithjof Schuon, Seyyed Hossein Nasr, dan Rene Guenon, memaknai Ihsan dalam kerangka spiritualitas universal nan melampaui batas-batas umum agama, tetapi tetap menghormati bentuk-bentuk tradisional kepercayaan sebagai wahana mencapai kebenaran kekal (perennial truth). Dalam karya-karya mereka, Ihsan dipandang sebagai dimensi tertinggi sekaligus terdalam, dalam Islam, nan selaras dengan inti aliran spiritual dari semua kepercayaan besar dunia.
Dalam tradisi perennial, Ihsan dianggap sebagai ekspresi dari pencarian manusia bakal kesempurnaan jiwa nan menghubungkannya dengan Tuhan. Ihsan mencakup dimensi moral, estetis, dan mistis, nan selaras dengan prinsip universal dari semua tradisi spiritual nan tetap ada hingga saat ini.
Frithjof Schuon, dalam kitab Understanding Islam (George Allen & Unwin Ltd, 1963), menahbiskan bahwa Ihsan adalah aspek paling universal nan menghubungkannya dengan kehadiran Ilahi dalam hati manusia. Ihsan dilihat sebagai rayuan “menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya,” sebuah realisasi dari kehadiran transenden Tuhan di atas pentas kehidupan. Dalam pandangan Schuon, dimensi ini bukan hanya milik Islam, tetapi merupakan inti dari semua tradisi nan sahih.
Bagi perennialis, Ihsan mencerminkan jalan menuju realitas transenden nan disebut sebagai Hakikat—yang merupakan prinsip dari setiap agama. Ihsan adalah jembatan antara corak (syariat) dan makna terdalam (hakikat), seperti nan dijelaskan dalam sufisme Islam. Dalam konteks ini, Ihsan mencakup Muraqabah (kesadaran ilahi), sebagai jalan untuk mengenali Tuhan dalam panggung raya kehidupan; Mahabbah (Cinta Ilahi), nan menjadi inti semua aliran spiritual: cinta kepada Tuhan adalah puncak dari perjalanan batin; dan Ikhlas (ketulusan niat), nan memastikan bahwa semua tindakan diarahkan kepada Hyang Maha Esa.
Seyyed Hossein Nasr, dalam The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islam’s Mystical Tradition (HarperOne. 2007), mengeksplorasi dimensi spiritual Islam, khususnya sufisme, sebagai jalan menuju realisasi kebenaran tertinggi dan harmoni batin. Nasr membahas Ihsan sebagai intisasri dari dimensi spiritual Islam, merujuk pada Hadits Jibril tersebut. Ia menjelaskan bahwa Ihsan mencakup hubungan antara manusia dan Tuhan nan melampaui ritual formal, dan menekankan pada kesadaran bakal kehadiran Ilahi dalam setiap hela nafas kehidupan.
Ia juga mengaitkan Ihsan dengan, pertama, Keindahan Spiritual, ialah jalan mencapai keelokan jiwa nan selaras dengan Keindahan Ilahi, sebagaimana dijelaskan dalam tradisi Islam bahwa Allah adalah sumber segala keindahan. Kedua, Kesadaran Ilahi. Melalui Ihsan, seorang Muslim mengembangkan rasa keintiman dengan Allah, nan membawa kepada penghayatan spiritual mendalam dan transformasi diri. Ketiga, Integrasi Dimensi-dimensi Islam. Nasr menunjukkan bahwa Ihsan adalah penyempurna Iman (keyakinan) dan Islam (amal lahiriah), menjadikannya puncak dari pengalaman religius seorang Muslim. Baginya, Ihsan adalah sarana memasuki Kebun Kebenaran, di mana manusia dapat menemukan kedamaian sejati dan keabadian.
Dimensi Ihsan dalam pendekatan perennial juga sering ditekankan dalam kaitannya dengan keelokan (beauty). Rene Guénon, misalnya, memandang Ihsan sebagai pengaktualan keelokan jiwa dalam kehidupan manusia, di mana tindakan dan pikiran manusia selaras dengan tatanan Ilahi. Keindahan tidak hanya mengenai estetika, tetapi moralitas dan harmoni dalam kehidupan. Melalui pandangan ini, keelokan (Ihsan) adalah pantulan dari keselarasan kosmik nan menjadi dasar dari seluruh penciptaan.
Guénon membahas pentingnya realization alias realisasi spiritual dalam dua adikaryanya, Man and His Becoming according to the Vedanta (Bossard, 1925), dan The Symbolism of the Cross (Editions Traditionnelles, 1931). Ia menekankan perlunya melampaui aspek lahiriah kepercayaan untuk mencapai dimensi jiwa nan membawa kesadaran bakal kehadiran Ilahi. Hal ini selaras dengan prinsip Ihsan dalam Islam: penghayatan langsung terhadap Hyang Mutlak melalui kesadaran spiritual. Dalam banyak karyanya tentang simbolisme, Guénon pun sering menghubungkan konsep keelokan dengan manifestasi Ilahi. Perspektif ini sejalan dengan dimensi artistik Ihsan, di mana hubungan antara manusia dan Tuhan tidak hanya diwujudkan melalui tindakan, tetapi melalui penghayatan bakal keelokan sebagai refleksi dari kesempurnaan Ilahi.
Ihsan dan Kesatuan Spiritualitas Universal
Konsep Ihsan bukan hanya puncak spiritualitas Islam, tetapi simbol universal dari perjalanan manusia menuju Tuhan. Dalam pandangan perennialis, Ihsan mencerminkan kesatuan transenden agama-agama, sebuah pendapat bahwa dibalik perbedaan ritual dan doktrin agama, terdapat inti spiritual nan sama. Pandangan ini menggarisbawahi kehadiran Tuhan dalam setiap relung kehidupan, melampaui sekat-sekat kepercayaan untuk menyatukan seluruh umat manusia dalam pengalaman cinta Ilahi dan kebenaran universal.
Dalam tradisi Kristen, Ihsan dapat disamakan dengan aliran Nabi Isa as tentang “mengasihi Allah dan sesama manusia,” sebuah ekspresi cinta tanpa syarat nan menjadi inti dari hubungan spiritual dengan Tuhan. Serupa dengan itu, tradisi Hindu melalui Bhakti Yoga menekankan penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan sebagai jalan menuju pembebasan jiwa. Konsep Brahman sebagai realitas absolut dan Atman sebagai jiwa perseorangan nan berupaya menyatu dengannya, jelas mempunyai kesamaan dengan kesadaran Ihsan. Sementara itu, Buddhisme mengajarkan pencerahan (nirvana) sebagai pembebasan dari ego dan penyatuan dengan realitas tertinggi—sering digambarkan sebagai pengalaman langsung terhadap kebenaran universal, mirip dengan makrifat dalam tasawuf.
Ketiga jalan itu, meskipun berbeda dalam praktik dan istilah, menyuarakan prinsip Ihsan: penghapusan dualitas dan penghayatan langsung bakal kehadiran Ilahi dalam diri dan alam semesta. Ihsan menuntut adab mulia sebagai pengejawantahan dari kesadaran kepada Allah. Prinsip serupa terlihat dalam aliran ahimsa (non-kekerasan) Gandhi alias agape (kasih universal) dalam Kekristenan. Rukun Ihsan tidak hanya menuntut kesalehan individual tetapi juga keberpihakan sosial. Hal ini dapat dikaitkan dengan aliran Taoisme tentang harmoni dengan alam dan masyarakat alias nilai-nilai Konfusianisme nan menekankan keadilan sosial. Dalam kosmologi spiritual nan universal, Ihsan berfaedah sebagai jembatan antara dimensi etis, estetis, dan misterius dari setiap agama.
Secara etis, Ihsan menuntut manusia untuk menjalani hidup dengan kebaikan nan mencerminkan kehadiran Tuhan. Secara estetis, Ihsan mengarahkan manusia untuk menemukan keelokan Ilahi dalam ciptaan-Nya. Secara mistis, Ihsan membawa manusia menuju pengalaman langsung bakal Hyang Mutlak, melampaui simbol dan bentuk. Dengan demikian, Ihsan tidak hanya mengulas tentang gimana manusia kudu beribadah, tetapi juga gimana manusia kudu hidup dalam harmoni dengan dirinya, sesama, dan alam semesta.
Sebagaimana dalam Vedanta, di mana jalan-jalan spiritual seperti jnana (pengetahuan), karma (tindakan), dan bhakti (cinta) diarahkan pada penyatuan dengan Brahman, maka Ihsan dalam Islam menyempurnakan Iman dan Islam sebagai dua langkah awal menuju pengalaman kesatuan Ilahi. Ihsan adalah puncak dari perjalanan spiritual, di mana ritual umum menjadi hidup dengan makna batin, dan kebenaran metafisik menjadi pengalaman nan langsung dirasakan. Dalam proses ini, manusia menemukan dirinya sebagai bagian dari realitas nan tak terpisahkan dari Sang Ilahi.
Ihsan, dalam kerangka ini, adalah puncak dari spiritualitas universal nan menghubungkan manusia dengan Hyang Abadi. Dengan menghayati Ihsan, manusia tidak hanya menyadari Tuhan sebagai tujuan, tetapi juga merasakan kehadiran-Nya di setiap degub nadi kehidupan. Dalam tradisi perennial, pengalaman ini adalah kesadaran bahwa seluruh agama, meskipun berbeda di permukaan, mengarah pada satu sumber nan sama—sumber cinta, kebenaran, dan keindahan. Ihsan, pada akhirnya, menjadi pintu menuju harmoni kosmik nan melampaui batas-batas ego, dogma, doktrin, dan dualitas.
Ihsan dalam Konteks Kehidupan Modern
Kalangan perennialis juga menyoroti pentingnya Ihsan sebagai jalan untuk menghadapi krisis spiritualitas modern. Dalam bumi nan materialistis dan sekular, Ihsan adalah pengingat bakal kebutuhan untuk kembali pada nilai-nilai spiritual. Seyyed Hossein Nasr sering menekankan bahwa Ihsan adalah solusi untuk melawan keterasingan manusia modern dari Tuhan, alam, dan dirinya sendiri. Dalam pandangan Nasr, Ihsan adalah panggilan untuk hidup secara sadar, dengan kesadaran bakal kehadiran Ilahi dalam setiap dimensi kehidupan.
Kalangan perennialis memandang Ihsan sebagai inti spiritualitas Islam nan melampaui dimensi ritual dan dogmatis, menghubungkan manusia dengan Tuhan secara langsung dan mendalam. Ihsan mencakup realisasi batiniah, cinta kasih, dan kesadaran Ilahi nan menjadi inti dari semua kepercayaan besar. Dengan langkah ini, Ihsan tidak hanya eksklusif bagi Islam, tetapi juga menjadi jalan universal menuju kebenaran abadi.
Lebih dari sekadar teori, Ihsan mempunyai akibat praksis dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Pada abad ke-21, di tengah meningkatnya tantangan dunia seperti materialisme, degradasi lingkungan, dan disintegrasi sosial, Ihsan menawarkan jalan menuju solusi transformatif. Studi oleh Harvard Business Review menunjukkan bahwa tenaga kerja nan mempunyai tujuan nan lebih tinggi dalam pekerjaan mereka, condong lebih produktif dan bahagia. Kesadaran Ihsan dapat membantu menciptakan suasana kerja nan sarat integritas dan kesadaran etis. Negara-negara dengan tingkat spiritualitas tinggi, seperti Bhutan, menunjukkan gimana nilai-nilai transenden dapat berakibat pada kebijakan negara. Maka konsep Ihsan pun bisa menjadi dasar bagi Indonesia untuk membangun kebijakan nan lebih manusiawi.
Penelitian UNESCO menunjukkan bahwa sistem pendidikan berbasis spiritualitas, juga condong menghasilkan perseorangan nan lebih toleran dan etis. Mengintegrasikan prinsip Ihsan ke dalam kurikulum pendidikan dapat menciptakan generasi nan tidak hanya pandai tetapi juga berbudi pekerti mulia. Namun, dimensi perennial Ihsan tidak berfaedah menyeragamkan semua kepercayaan alias meleburkan identitas Islam dalam pluralitas. Sebaliknya, Ihsan menawarkan model perbincangan nan mempertemukan manusia pada tingkat kesadaran nan lebih tinggi, di mana perbedaan dihormati sebagai bagian dari keberagaman Ilahi. Filosofi ini juga dipertegas dalam Al-Qur’an:
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan patokan dan jalan nan terang. Jika Allah menghendaki, niscaya Anda dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji Anda terhadap apa nan diberikan-Nya kepadamu. Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 48).
Ihsan adalah jalan menuju kesempurnaan manusia nan memadukan keislaman, keimanan, dan kemanusiaan dalam harmoni nan indah. Sebagai inti spiritualitas Islam, Ihsan tidak hanya membawa manusia mendekatkan diri kepada Allah, sekaligus juga menjadi kekuatan transformatif bagi bumi nan lebih adil, damai, dan penuh kasih sayang. Dimensi perennial-nya menjadikan Ihsan relevan dalam perbincangan lintas kepercayaan dan budaya, guna menciptakan kehidupan nan lebih bermakna.
Ihsan, sebagaimana dijelaskan Nasr, tidak hanya terbatas pada ibadah ritual, tetapi mencakup seluruh tindakan manusia sebagai ekspresi dari hubungan mendalam dengan Hyang Maha Esa. Ihsan bisa menjadi sarana menghubungkan dimensi lahiriah hukum dengan dimensi batiniah hakikat, nan pada akhirnya membawa manusia pada makrifatullah—pengenalan terhadap Allah.
Ihsan juga dilihat sebagai jembatan universal nan dapat diterima oleh beragam tradisi spiritual lainnya. Konsep ini mencerminkan bahwa kesadaran bakal Tuhan dan realisasi spiritual tidak terbatas pada satu corak agama, tetapi merupakan pencarian berbareng umat manusia untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi. Dengan merangkul Ihsan sebagai kesadaran universal, tradisi Islam menunjukkan keterbukaannya terhadap perbincangan lintas kepercayaan nan didasarkan pada nilai-nilai spiritual nan sama.
Dalam bumi nan semakin terfragmentasi oleh perbedaan, Ihsan mengajarkan pentingnya kesatuan dalam keberagaman. Dengan menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, seorang Muslim diajak untuk tidak hanya mendekatkan diri kepada Tuhan, tetapi juga kepada sesama manusia dan alam semesta. Ihsan membuka pintu bagi hubungan nan lebih selaras dengan segala ciptaan, menjadikan kehidupan sebagai manifestasi cinta, kesadaran, dan keikhlasan.
Melalui pengamalan Rukun Ihsan, kita dapat menyaksikan bahwa perjalanan spiritual bukan hanya tentang pencapaian individual, melainkan tentang memberikan faedah kepada orang lain dan menjaga harmoni dengan alam. Ihsan adalah perjalanan menuju kesadaran universal nan melampaui batas-batas fisik, sosial, dan agama, mengarahkan manusia kepada keintiman dengan Sang Pencipta nan Mahakuasa dan Mahakasih.
Semoga kita dapat menghidupkan nilai-nilai Ihsan dalam setiap aspek kehidupan, sehingga menjadi pribadi nan tidak hanya alim secara ritual, tetapi juga mulia dalam akhlak, berfaedah bagi sesama, dan menjadi saksi bakal keelokan universal nan dianugerahkan Allah kepada umat manusia. []

11 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·