Memahami prinsip tawasul
Banyak nan salah mengerti dalam memahami bab tawasul. Dalam kitab Mafāhīm Yajibu an Tuṣaḥḥaḥ—Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki menjelaskan perihal polemik itu:
Sebelum kita membahas mengenai tawasul, alangkah lebih baiknya kita mengetahui ihwal tawasul secara hakikat.
Dalam penjelasan ini, beliau memaparkan 4 analisa dalam memahami tawasul secara hakikat:
- Tawasul merupakan salah satu metode bermohon kepada Allah dan salah satu langkah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Untuk itu, sejatinya tujuan original dari tawasul adalah Allah. Adapun orang nan ditawasuli (mutawassal) hanya sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun ketika orang nan tawasul tidak bermaksud demikian, maka dia telah menyekutukan Allah.
- Orang nan bertawasul terhadap suatu perkara (benda/orang) nan menjadikannya perantara itu tidak lain lantaran dia mencintai perkara tersebut, dan meyakini bahwa Allah juga mencintai perkara itu. Jika realitanya tidak demikian, maka sungguh dia adalah orang nan sangat tidak suka bakal perkara itu.
- Seandainya orang nan bertawasul itu bermaksud bahwa orang nan ditawasulinya dapat memberi faedah dan madharat kepada dirinya dan menyamai alias membawahi kedudukan Allah, maka sungguh dia telah musyrik.
- Bahwa bertawasul itu bukanlah sesuatu nan wajib alias keharusan, dan dikabulkannya angan tidak berjuntai padanya. nan menjadi pokok adalah bermohon langsung kepada Allah secara mutlak, sebagaimana firman-Nya: ‘Dan andaikan hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat.’ (QS. Al-Baqarah: 186) dan firman-Nya juga: ‘Katakanlah: Berdoalah kepada Allah alias berdoalah kepada Ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dengan nama nan mana saja (kamu menyeru-Nya).’ “ (QS. Al-Isra: 110). (Lihat. Syaikh Muhammad Alwi al-Maliki, Mafāhīm Yajibu an Tuṣaḥḥaḥ, Haiah as-Shafwahhal. 123-124)
Jadi, analoginya, tawasul itu seumpama seseorang nan mau berjumpa dengan presiden, kita nan notabenenya orang jauh dengannya tanpa support adanya orang dalem (asisten presiden) maka orang itu susah untuk bertemu. Maka dari itu, kita kudu meminta perantara kepada orang dalem itu agar mudah untuk bertemu.
Baca juga: Shalat dan Doa Istikharah dalam Menentukan Pilihan
Lafadz tawasul kepada baginda Nabi Muhammad
Dalam kitab Sunan Ibnu Majah dijelaskan sebuah hadist nan berupa:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنْصُورِ بْنِ سَيَّارٍ قَالَ: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ الْمَدَنِيِّ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ خُزَيْمَةَ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ يُعَافِيَنِي فَقَالَ: «إِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ لَكَ وَهُوَ خَيْرٌ، وَإِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ» فَقَالَ: ادْعُهْ، فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ، وَيُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ، وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ:
Dari Utsman bin Hunayf, bahwa seorang laki-laki buta penglihatannya datang kepada Nabi ﷺ dan berkata:
“Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku.”
Maka Nabi ﷺ bersabda:
“Jika engkau mau, saya bakal menunda (doaku) bagimu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau mau, saya bakal bermohon (sekarang).”
Lelaki itu berkata: “Berdoalah.”
Lalu Nabi ﷺ menyuruhnya untuk berwudu dengan baik, kemudian salat dua rakaat, dan bermohon dengan angan berikut ini:
«اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ، وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى، اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ»
“Ya Allah, sesungguhnya saya memohon kepada-Mu dan bertawasul kepada-Mu dengan (perantaraan) Muhammad, Nabi rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya saya bertawasul denganmu kepada Tuhanku dalam hajatku ini agar hajatku dikabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai pemberi syafaat bagiku.”
قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ: هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ—فَيرى ذكر شَيخنَا عَابِد السندي فِي رسَالَته والْحَدِيث يدل على جَوَاز التوسل.
Abu Ishaq berkata:
“Hadis ini adalah sabda nan sahih.” Syekh kami, ‘Ābid as-Sindī menyebut dalam risalahnya, bahwa hadis ini menunjukkan bolehnya tawasul (Lihat. As-Suyūṭī, Syarḥ Sunan Ibn Mājah, Qadimi Kutub Khana – Karachi hlm. 99)
Menurut Syaikh Muhammad bin Alwi al-Maliki lafadz tawasul ini tidak hanya bertindak ketika baginda Nabi tetap hidup saja, melainkan juga ketika beliau sudah wafat. (Lihat. Syaikh Muhammad Alwi al-Maliki, Mafāhīm Yajibu an Tuṣaḥḥaḥ, Haiah as-Shafwahhal. 138)
Baca juga: Doa Ketika Dalam Keadaan Susah
Lafadz tawasul kepada para wali Allah dan orang-orang shalih
Bertawasul juga tidak hanya bertindak pada baginda Nabi saja, tawasul kepada orang-orang shalih pun menuai norma boleh. Dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin, Syaikh Abdurrahman Ba’alawi menjelaskan:
ٱلتَّوَسُّلُ بِٱلْأَنْبِيَاءِ وَٱلْأَوْلِيَاءِ فِي حَيَاتِهِمْ وَبَعْدَ وَفَاتِهِمْ مُبَاحٌ شَرْعًا، كَمَا وَرَدَتْ بِهِ ٱلسُّنَّةُ ٱلصَّحِيحَةُ… نَعَمْ، يَنْبَغِي تَنْبِيهُ ٱلْعَوَام عَلَى أَلْفَاظٍ تَصْدُرُ مِنْهُمْ تَدُلُّ عَلَى ٱلْقَدْحِ فِي تَوْحِيدِهِمْ، فَيَجِبُ إِرْشَادُهُمْ وَإِعْلَامُهُمْ بِأَنَّهُ لَا نَافِعَ وَلَا ضَارَّ إِلَّا ٱللَّهُ تَعَالَى، لَا يَمْلِكُ غَيْرُهُ لِنَفْسِهِ ضَرًّا وَلَا نَفْعًا إِلَّا بِإِرَادَةِ ٱللَّهِ تَعَالَى، قَالَ تَعَالَى لِنَبِيِّهِ عَلَيْهِ ٱلصَّلَاةُ وَٱلسَّلَامُ: قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا.
Bertawasul kepada para nabi dan wali, baik ketika mereka tetap hidup maupun setelah wafat, adalah sesuatu nan boleh secara syar’i, sebagaimana telah disebutkan dalam kitab sunnah nan shahih. Namun, perlu memberikan peringatan kepada orang-orang awam mengenai ucapan-ucapan nan mungkin menunjukkan abnormal dalam tauhid mereka. Maka wajib membimbing mereka dan memberi tahu bahwa tidak ada nan dapat memberi faedah alias menolak mudarat selain Allah Ta’ala. Tidak ada seorang pun selain-Nya nan mempunyai kuasa atas faedah alias mudarat untuk dirinya sendiri selain dengan kehendak Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya ﷺ: ‘Katakanlah: Sesungguhnya saya tidak kuasa mendatangkan mudarat maupun memberi petunjuk kepada kalian’.”
Adapun lafadz tawasul kepada orang-orang shalih adalah sebagaimana berikut:
Baca juga: Islam Mengajarkan Umatnya untuk Soft Spoken
Lafadz Umum:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِصَالِحِ عِبَادِكَ
Allāhumma innī atawassalu ilayka bi-ṣāliḥi ‘ibādik.
“Ya Allah, saya bertawasul kepada-Mu dengan (perantara) hamba-hamba-Mu nan shalih.”
Lafadz Khusus (misalnya kepada wali alias ustadz tertentu):
اللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِوَلِيِّكَ الصَّالِحِ فُلَان
Allāhumma innī atawassalu ilayka bi-waliyyika aṣ-ṣāliḥ fulān.
“Ya Allah, saya bertawasul kepada-Mu dengan wali-Mu nan shalih, Fulan.”
Gantilah kata “Fulan” dengan nama orang shalih nan dimaksud.
Baca juga: Menyambut Idul Fitri: Keutamaan Hari Raya dan Hikmah di Baliknya
Tawasul dengan redaksi tambahan (sering ada dalam doa)
اللَّهُمَّ بِحَقِّ أَوْلِيَائِكَ وَصَالِحِي عِبَادِكَ، فَارْفَعْ عَنِّي هَذِهِ الْبَلِيَّةَ، وَاقْضِ حَاجَتِي، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Allāhumma bi-ḥaqqi awliyā’ika wa ṣāliḥī ‘ibādika, farfa‘ ‘annī hādhihi al-baliyya, waqḍi ḥājati, innaka ‘alā kulli shay’in qadīr.
“Ya Allah, dengan kewenangan para wali-Mu dan orang-orang shalih dari hamba-hamba-Mu, angkatlah bala ini dariku dan kabulkanlah hajatku. Sungguh Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kunjungi juga akun media sosial Pondok Lirboyo
English (US) ·
Indonesian (ID) ·