Indonesia merupakan negara dengan masyarakat muslim terbesar di dunia. Islam di Indonesia tidak sepenuhnya sama dengan di negara lainnya. Islam di negeri ini mempunyai coraknya tersendiri dengan prototipe tasawuf. Banyak kebenaran sejarah nan menunjukkan bahwa Islam Indonesia adalah Islam tasawuf (Islam nan berbudi pekerti sufistik). Fakta bahwa sejak Islam masuk ke Nusantara telah terlihat unsur-unsur tasawuf nan mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat.
Bahkan tasawuf menjadi bagian nan tidak terpisahkan dari pengalaman keagamaan kaum muslimin di Indonesia, realita itu terlihat dari maraknya aktivitas tarekat nan berkembang di masyarakat. Tarekat adalah jalan nan ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan nan berakar dari syariat, karena jalan utama alias luas disebut syar’. Sedangkan anak jalan alias jalan mini disebut thariq. Salah satu tarekat nan berkembang di masyarakat adalah tarekat Alawiyyah (Patmawati, 2019).
Sejarah Singkat Tarekat Alawiyyah
Tarekat ini dinisbatkan pertama kali pada Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad (Muhajir Ilallahi) bin Isa al-Alawi (datuk alias moyangnya kaum ‘Alawiyyin). Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Thoriqoh Haddadiyah mengingat begitu besarnya pengaruh dan perannya dalam pengembangan aliran tarekat ini.
Secara garis besar, tarekat ini dikaitkan dengan kaum Alawiyyin alias nan lebih dikenal sebagai saadah, kaum sayyid, alias sayid nan merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw dan merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadramaut Yaman. Tarekat ini sejatinya mempunyai ke-khasan tersendiri, ialah dalam pengamalan wirid dan dzikirnya bagi para pengikutnya tidak ada keharusan bagi para siswa untuk dibaiat terlebih dahulu (Badruzzaman, 2023).
Dalam ungkapan lain tarekat Alawiyyah, sebagaimana diungkapkan Azam Bahtiar dalam Youtube Noura Publishing nan membedah buku, “Menemukan Kembali Tarekat Alawiyyah”, mengatakan bahwa, “Ke-khasan tarekat Alawiyyah adalah hilangnya identitas ketarekatan dalam makna menghilangkan simbol-simbol ketarekatan dan nan ditekankan adalah pendalaman ilmu-ilmu kepercayaan kemudian mengamalkannya. Selain itu, tarekat Alawiyyin mengajarkan bahwa pengetahuan dan kebaikan itu menjadi satu. Sehingga siapapun bisa mengamalkannya”.
Selain itu, inti tarekat Alawiyyah, menurut Quraish Shihab adalah aliran al-Asy’ariyah dalam bagian akidah, aliran Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah dalam bagian fikih, dan pandangan al-Ghazali, khususnya dalam bagian akhlak. Sedangkan praktiknya adalah upaya keras disertai rasa sungguh-sungguh dalam menjalankan hukum dengan konsistensi ditopang zikir dan wirid nan sederhana. Sementara, menurut Sayyid Abdullah Al-Haddad tarekat Alawiyyah termasuk kategori thariqah ash-hab al-yamin (jalan bagi golongan kanan), alias tarekatnya orang nan selalu menghabiskan waktunya untuk ingat dan alim kepada Allah Swt (Muvid, 2020).
Habib Zain Alaydrus, Guru Bachiet, dan Tarekat Alawiyyah di Kalimantan Selatan
Menurut beberapa sumber, tarekat Alawiyyah, khususnya di Kalimantan Selatan disebarkan oleh, Habib Zain Alaydrus nan berasal dari Surabaya. Ajaran tarekat Alawiyyah nan dibawa oleh Habib Zain ini merupakan perpaduan ibadah dan aliran dari beragam macam tarekat nan berkembang di Indonesia. Tarekat ini kemudian berkembang dan tersebar luas di Kabupaten Hulu Sungai Tengah.
Persebaran tarekat nan begitu luas tidak bisa dilepaskan dari siswa Habib Zain sendiri, ialah K.H. Bachiet. Pada tahun 1993, Guru Bachiet dikirim oleh orang tuanya ke Surabaya untuk belajar pengetahuan tarekat dengan Habib Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus. Setelah mendapatkan ilmu, Guru Bachiet diberi izin untuk memperkenalkan tarekat Alawiyyah. Setelah kembali Guru Bachiet mulai memperkenalkan tarekat Alawiyyah pada 14 Juni 1994 sekaligus memainkan peran krusial dalam upaya mendekatkan para pengikut alias jamaahnya kepada penyelenggaraan hukum dan sekaligus bertasawuf (Hakim, 2011).
Untuk memahami aliran tarekat Alawiyyah nan diperkenalkan Guru Bachiet. Pertama, Guru Bachiet menekankan pada tasawuf akhlaki, ialah moral nan mulia, menjaga amal, perkataan, dan niat agar bersih alias islah as-sarirah (pembenahan alias pembersihan batin). Bagi Guru Bachiet islah as-sarirah diwujudkan dalam praktik keseharian, khususnya saat pengajian, para jamaah dianjurkan memakai serba putih sebagai pendidikan rohani sekaligus simbol bersih lahir dan jiwa dalam rangka mendekatkan diri pada Allah Swt (Sulaiman).
Kedua, sebagai upaya krusial dalam pendidikan rohani adalah dengan pemberian amalan-amalan kepada siswa nan disebut wirid. Pada tarekat Alawiyyah di Kalimantan Selatan alias di Kabupaten Hulu Sungai Tengah terdapat wirid nan kudu diamalkan, ialah wirid Al-Haddad dan wirid Habib Zainal Abidin bin Ahmad Alaydrus. Dalam melakukan wirid ada etika nan kudu diperhatikan, ialah niat untuk mendekatkan diri kepada Allah, berpakaian putih, duduk tenang, dan memakai harum-haruman. Selain itu, ada beberapa kitab nan diajarkan kepada para jamaah karya Guru Bachiet, nan berjudul, “Nurul Muhibbin fi Tarjamah Thariqat al-Arifin min Sadatina al-Awaliyyin”, kitab nan membahas aliran wirid. Dan kitab berjudul, “Ampunan Tuhan (Bagi Orang nan Tobat dari Dosa dan Kesalahan) (Hakim, 2011). Demikianlah perkembangan tarekat Alawiyyah nan berkembang, khususnya di Kalimantan, sebagai bagian pengembangan pendidikan karakter untuk membentuk masyarakat nan beradab baik dan mulia.
Bahan bacaan:
Patmawati. (2019). Sejarah dan Eksistensi Tasawuf di Kalimantan Barat. Pontianak: IAIN Pontianak Press.
Badruzzaman, Y. I. (2023). Tasawuf Dalam Dimensi (Definisi, Doktrin, Sejarah, dan Dinamika Keutamaan). zakimu.com.
Muvid, M. B. (2020). Tasawuf Kontemporer. Jakarta: AMZAH.
Hakim, A. (2011). Tarekat ‘Alawiyyah di Kalimantan Selatan: Sebuah Telaah Unsur Neo-Sufisme dalam Tarekat). Al-Banjari.
Sulaiman. (t.thn.). Pemikiran Tasawuf Guru Bakhiet (Perspektif Teori Tindakan Sosial Max Weber). Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

9 bulan yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·